Saya mendapat nama panggilan baru oleh para penjaga perpustakaan fakultas. "Si Olor". Bagaimana asal mula nama tersebut? Begini ceritanya...
Saya belakangan ini sering membawa serta Levy, laptop butut saya kemanapun saya pergi. Bukannya sok maju, tapi saya berjaga-jaga saja bila suatu saat saya ingin ber-hot-spot-an, atau cuma sekedar ngetik nggak jelas. Nah, berhubung Levy saya itu batereinya tak tahan lama, jadilah saya membawa serta olor kabel bersama saya. Selain juga mempersiapkan diri terhadap kemungkinan siapa tahu ada lebih dari satu orang yang membutuhkan listrik ataupun si sumber listrik tadi jauh jaraknya.
Kemarin, saya untuk pertama kalinya setelah 2 tahun ini tak ke perpus fakultas, kembali menginjakkan kaki di sana. Saya langsung membawa Levy masuk. Karena sumber listrik hanya satu, saya pun membawa masuk si olor tadi dan langsung mencolokkannya tanpa basa-basi. Oleh sang penjaga perpus, rupanya tindakan saya tadi cukup menarik perhatian dikarenakan baru saya saja pengunjung yang 'aneh' dan 'ramai'. Hari ini ketika saya masuk ke perpus, semua penjaga perpus langsung memanggil saya dengan nama panggilan baru saya dari mereka.
"Eh, dek olor datang lagi..."
Spontan pengunjung lain langsung tertuju pada saya. Dan ketika saya keluar dari perpus, mereka masih sempat-sempatnya menyapa di tengah hiruk pikuk pengunjung.
"Dek Olor besok datang lagi lho ya..."
Fiuh...kurang banyak apa ya nama panggilan saya? (Kukang, bebek, kwek, induk ayam, kelinci, freak, kura-kura, dsb)




Untuk apa ku beritahu, kau kan tak mau tahu. Untuk apa bercerita, jika tiap kali aku bercerita, kau hanya membuang muka. Untuk apa aku menunggu, jika tiap aku menunggumu, yang kudapat hanyalah bahwa kau membatalkan janjimu. Untuk apa aku berbicara banyak denganmu jika aku hanya sebagai pengusir sepimu yang kau tinggal saat keramaian mendekatimu. Untuk apa janji-janji semu yang tak berujung pada satu fakta bahwa kau benar-benar ada untukku.


-?-


Saya sangat jarang sekali menumpahkan kemarahan lewat kata-kata, tapi mungkin ini bisa jadi lebih parah, saya membalasnya. Ketika ada seseorang yang mengecewakan saya, yang saya lakukan pada akhirnya adalah kembali memperlakukannya sesuai apa yang dia lakukan pada saya. Tujuan saya adalah agar si orang tadi sadar sendiri bahwa tidak enak mendapat perlakuan seperti yang dia berikan pada saya. Tak butuh banyak kata-kata, hanya lakukan saja. Mungkin ini sifat jelek kali ya...Dan sangat sulit sekali merubahnya...Ya Allah...Bagaimana caranya...

Beberapa hari yang lalu seorang teman mengirim SMS berisi kata 'maaf', dan saya pun membalasnya dengan permintaan pula karena saya juga memendam perasaan kesal saya untuknya. Saya juga mengatakan alasan kekesalan saya dan tindakan menghindar saya padanya. Saya juga introspeksi diri saya karena dia juga ternyata mengatakan 'kesal' pada saya. Akhir-akhir ini memang sangat sulit sekali mengatur waktu...Atau lebih baik kalau saya menghilang saja?

Berikut ini saya tampilkan beberapa foto hasil jepreten fotografer amatir yang sengaja mengabadikan saat-saat terakhir kesebelasan PPL saya di STM M***i.


Kiri ke kanan: nadzori-dyah-faris-dian-bowo-ashar-alvin-diana-ndaru

Ashar-Dian-Alvin

Diorama anak-majikan-dan pembantu


One day he sent me a short message: "Hi, my dodol...Do you miss me?" Hahaha. Nadia...Nadia...

Ruang guru yang bisa membuat bosan setengah mati...







Entah kenapa saya harus menulis ini, mumpung saya punya ruang untuk sendiri -secara fisik- tanpa ada yang mengusik. Perlu diketahui sekarang saya sedang berada di sebuah bilik warnet yang berjarak 15 KM dari kos saya. Hebat bukan? Dan semua ini saya lakukan hanya untuk 'menyepi' secara fisik.

Belakangan ini saya hampir tidak pernah sendirian -secara fisik- Saya teringat beberapa waktu yang lalu teman lama saya semasa SMA mengirim SMS pada saya, mengajak untuk menginap di rumahnya. Saya menolak dengan alasan saya masih di Solo. Padahal lebih dari itu, saya hanya tidak mau bertemu dengannya, belum mau bertemu. Ada banyak hal yang hanya bisa saya simpan sendiri, tidak bisa diceritakan pada orang lain, manusia lain, siapapun itu.

Saya tidak bisa bercerita pada ayah, ibu, apalagi adik saya. Saya juga tidak bisa bercerita padanya, pada sahabat saya, karena saya pikir rasanya saya tidak perlu bercerita padanya...Entahlah, mungkin lebih baik memang begini, cukup saya saya yang tahu...dan Kau -Pemilik Jiwaku- yang Maha Tahu...

US

Dewi sedang berpose, lalu saya berlari kemudian langsung jongkok di dekatnya "Dewi!!!!!ikutan!!!!!"


Saya dan Diana -si miss late-


Saya dan Deni "Dian, kamu narsis banget sih!"


Saya dan Arie -sahabat saya- ditambah Diana

Beberapa hari yang lalu saya dan teman-teman saya sedang gila-gilanya foto. Mungkin karena kami sebentar lagi lulus -amin- sehingga ingin mengabadikan tiap detik kebersamaan kami kali ya? Foto-foto di atas hanya sebagian kecil dari yang kami ambil...


Akhir-akhir ini saya jadi sering masak sendiri. Entah kenapa rasanya senang sekali ketika meracik bumbu, kemudian mulai memasak, lalu melihat masakan kita matang dan dimakan dengan lahap oleh orang-orang tercinta. Dulu saya memang jarang masak -sendiri- paling cuma ngrecoki ibu di dapur, bantu-bantu yang bisa dan boleh dibantu. Tapi sekarang, ga peduli masak apa, cemplungin aja. Hehehe.
Beberapa waktu yang lalu saya masak terong -sayur yang bagi teman-teman yang mengenal dekat saya pasti tahu bahwa dulu saya sangat anti dengan terong, tetapi sekarang saya cinta mati sama terong- dibuat balado ceritanya. Rasanya lumayan walaupun kurang pedas -kata seorang teman-
Entahlah...saya suka mencampur semua jenis makanan. Yang penting hasilnya bisa dimakan, masalah nama nanti dikasih nama sendiri saja. Hehehe. Ibu saya sangat jago memasak, dan sekarang saya nggak mau kalah dong sama ibu...Semangat!



" with pleasure, I'll come to you..."
I got this message few days ago from my friend. Hahahaha...



Ternyata menjadi seorang guru yang baik itu sangatlah sulit. Dulu saya pikir, jadi guru itu mudah. Bahkan saya bersemangat sekali ingin menjadi seorang guru yang luar biasa. Tetapi ternyata memang kenyataan tak selalu seindah harapan. Ketika saya harus dihadapkan dengan lingkungan sekolah yang serba tak nyaman, siswa-siswa yang memiliki kemampuan jauh di bawah rata-rata, dan juga niat sekolah mereka yang hampir tidak ada, saya kesulitan. Saya merasa gagal sebagai guru bahasa Inggris mereka. Saya mungkin akan lebih baik menjadi guru BK mereka kali ya... Setiap kali masuk kelas, sulit sekali untuk membuat mereka mengerti pelajaran, tetapi ketika diajak bercerita atau mereka sendiri yang bercerita, rasanya obrolan itu nyambung.

Sebenarnya saya kasihan dengan mereka, di rumah tak ada perhatian dari orang tua, di sekolah juga semua guru bersikap kasar pada mereka... Mana bIsa mereka belajar dengan kondisi psikologis yang seperti itu. Saya hanya ingin murid-murid saya berhasil, murid-murid saya bersemangat sekolah, murid-murid saya menjadi orang yang berguna. Bagaimana saya bisa membantu mereka?




Tiba ku di persimpangan jalan yang tak ku tahu ujungnya...

Ku tengok kiri kanan, tak ada kawan
Ku tengok ke belakang, rasanya ada sesuatu yang mendorongku untuk melangkah maju...
Tapi bagaimana bisa kulanjutkan langkahku?
Bagaimana ku tapakkan kakiku, ku jejakkan ke atas tanah agar dapat terus melangkah?
Tanpa ku tahu, harus ke manakah aku...



PPL hampir berakhir tapi konflik semakin memanas. Banyak masalah yang muncul ke permukaan. Saya pun tak luput dari sasaran. Ada kabar saya akan dikeluarkan gara-gara bolos, padahal yang terjadi sebenarnya adalah saya IZIN! Itupun karena sakit dan hanya 2 kali! Tapi ada seseorang yang berkata dengan sok tahu bahwa saya tidak pernah mengajar dan tidak pernah ikut senam Jumat pagi. Berani benar dia bicara seperti itu hanya gara-gara dia tidak begitu kenal dengan saya dan jarang melihat saya di sekolah. "Saya pasti tahu PPL mana saja yang rajin, apalagi yang cewek-cewek" begitu katanya pada seorang guru. Hanya karena saya jarang berinteraksi dengan dia lalu dia seenaknya sendiri menyebar kabar tidak jelas! Apalagi posisinya adalah anak dari adik sang kepala sekolah yang sama tidak jelasnya.

Kemudian ada seorang teman saya berkata seperti ini, "Di, semua orang di STM ini busuk. Mereka sok manis di depan kita, tapi di belakang, menusuk tanpa ampun". Ya saya sih sependapat sebenarnya, hanya saja menurut saja mereka bukan busuk, tapi penjilat. Kenapa? Di sekolah sedang ada perebutan kursi kepala sekolah. Semua ingin show off pada kandidat-kandidat kepala sekolah bahwa mereka itu 'kelihatan' baik dan 'mendukung' padahal...Hah...sama saja...

Bukan hanya saya saja yang terkena kasus semacam itu, beberapa teman yang lain juga kena. Kami hanya ingin segera pergi dari sana, semua orang di sana -kecuali murid-murid saya- membuat kami muak. Bisa anda bayangkan betapa senangnya kami ketika bel pulang -yang bunyinya seperti bunyi orang jualan es krim- begitu merdu dan menyejukkan di telinga kami.

Tiga minggu lagi, Dian. Sabar...sabar...

Kesebelasan PPL-ku: Prabowo-Bani-Dyah-Diana-Ashar-Titin-Faris-Nadzori-Ndaru-Alfin-Saya, Semangat!!!!!

Beberapa waktu lalu ada sebuah kejadian yang membuat seorang teman saya mengatakan:
"Bukan dian banget!"
dikarenakan saya beberapa saat kehilangan logika dan mengandalkan perasaan saya. Bagaimana tidak, selama ini saya capek dengan hal yang berhubungan dengan masalah 'keluarga dan agama' yang sudah menghantui saya selama 3 tahun ini, lalu tiba-tiba orang yang mungkin akan menjadi bagian dari keluarga saya juga mempermasalahkan hal tersebut. Saya pada waktu itu sempat protes, bukan salah saya kan jika saya lahir di keluarga non muslim; bukan salah saya kan, jika akhirnya yang masuk islam cuma saya; bukan salah saya kan, jika sampai sekarang pun keluarga besar saya belum bisa menerima saya; bukan salah saya kan...
Tapi kemudian saya berpikir ulang...Jika memang harus begini jalannya, mau bagaimana lagi. Toh kesabaran itu tak ada batasnya. Saya jadi ingat selebaran kecil yang terselip di sebuah buku yang saya pinjam dari seorang kakak, "Bersabarlah beberapa saat lagi..."
Dian, sabar... Semangat! Semangat!

Liburan di depan mata. Meski tak suka dengan liburan ini, tapi toh akan ada bayak janji yang harus ditepati liburan kali ini. Salah satunya adalah sesuatu yang membuat saya grogi. Hehehe. Bagi seseorang yang merasa paham akan apa yang saya maksud di sini, tentulah tau bagaimana saya begitu gugup menghadapi yang satu ini.
Yang jelas, ramadhan kali ini sangat jauh berbeda dengan 2 ramadhan dalam hidup saya, sebelumnya. Entah itu karena aktivitas mengajar saya, maupun kehidupan pribadi saya. Ya, semoga apa yang sudah menjadi keputusan saya merupakan hal yang terbaik yang bisa saya lakukan.
Teruntuk: keluarga besar English Dept. UNS, selamat liburan, lebaran, dan leburan dosa.
Dan spesial untuk seorang sahabat dan seorang yang dekat, selamat Idul Fitri. Maafkan segala khilaf ya...^^


Model les adalah sebutan untuk aktivitas di mana peserta PPL melakukan observasi terhadap KBM yang dipimpin oleh guru pamong. Tadi pagi saya rencananya mau model les. Tapi ketika jam menunjukkan pukul 06.50, guru pamong saya mengirim pesan pendek pada saya mengatakan bahwa beliau datang terlambat dan meminta saya untuk mengisi jam beliau. Kaget dan belum persiapan juga tentunya. Kemudian saya ke kantor guru untuk meminta LKS yang digunakan oleh guru-guru bahasa Inggris di STM tempat saya mengajar. Setelah mendapatkan apa yang saya cari, saya naik ke lantai 2. Mampir di kantor PPL dulu, mendapat semangat dari teman-teman yang justru membuat agak ragu. Mereka bilang, "Semangat Bu! Pulang utuh ya! Semoga kembali selamat!".
Dalam perjalanan menuju 11 M1 -kelas di mana saya harus mengisi jam pertama dan kedua- banyak murid-murid yang bersliweran mengatakan bahwa kelas merekalah 11M1 itu. Mereka berniat mengerjai saya kali ya. Setelah tiba di kelas yang saya maksud, jumlah murid hanya tinggal separuhnya saja. Baru mau saya absen, pertanyaan-pertanyaan yang sudah diduga akan muncul, berdatangan.
"Bu, namanya siapa? Kenalan dulu dong"
"Bu, sudah punya pacar belum?"
"Bu, no HP-nya berapa?"
"Bu, rumahnya di mana?"
...dsb...
Saya menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi dengan sedikit berkelit, hehehe. Kalau masalah nama, tentu saya jawab. Florentina Dian. Langsung salah satu murid menyahut menyebutkan salah satu nama pemain bola yang saya sekarang lupa namanya. Saya bilang sudah punya pacar -sementara masih bapak saya, hehe-, no HP saya suruh minta ke wakil kepala sekolah -mereka langsung berkata, 'ya...'-hahaha-, dan saya bilang saya belum punya rumah. Tapi meskipun begitu, bisa saja pertanyaan lain muncul.
Saya berada di kelas tadi selama 2 jam pelajaran. Banyak hal yang terjadi selama itu.
Guru datang, pelajaran dimulai, saya duduk di belakang. Saya tambah terkejut mengetahui bahwa siswa-siswa di sana, bahkan tidak tahu arti kata what,when,where! Lha, adik saya yang kelas 4 SD saja sudah bisa menyusun kalimat bahasa Inggris...
Ditambah parah lagi ketika saya pada jam berikutnya harus masuk ke kelas yang menurut penduduk STM tersebut merupakan kelas terbandel. Bagaimana tidak, selain kata-kata yang kurang layak diucapkan, tingkah laku dan keseharian mereka sungguh sangat memprihatinkan. Bahkan dengan guru yang sudah mengajar lama di situ, sama sekali tak ada bedanya. What a school...
Sementara saya cukupkan dulu...


"sst...sst...menurutmu, STM ini yayasan muslim atau non?" my PPL friend,asked.
"Hm...kayaknya murni deh..." I and my my friend,answered.
"Itu kan namanya, Bu -he called me and all of my friends with female gender, 'bu'- maksudku tu yayasannya..."
"Lha menurutmu apa?" my another 'crazy' friend asked.
"Ah, aku tahu!" I said enthusiastically.
"Apa?"
"Yayasan non muslim! Tu di laci kalian ada Injil kok..."
"Iya ya..."
After a few minutes, a teacher came in.
"Assalamu'alaikum..."
And spontaneously my first-crazy-friend- said, "Ha! Kamu salah! Tu bapaknya Islam! Berarti bener kalo yayasan ini murni...tidak dari agama manapun..."
"Lha tadi sudah dibilangin katanya bukan...heh...dasar" I replied.

ps: this conversation made without any intention to hurt someone/something.

Kamis, 7 Agustus 2008
Jam menunjukkan pukul 10.30 waktu Solo. Saya menaiki motor saya menuju kampus dengan tujuan melihat siapa tahu ada pengumuman. Saya agak ragu-ragu membelokkan motor saya menuju gedung E FKIP UNS, dikarenakan apa yang saya kenakan saat itu sangat mencolok. Seragam hitam-putih, sepatu hitam berhak agak tinggi, dan sebuah tas wanita yang jika bukan karena keharusan, tidak akan saya kenakan.
Sesampai di kampus, tak ada yang saya cari. Akhirnya saya pun pergi ke kos teman saya, Dyah, untuk berangkat bersama ke tempat PPL kami. Kurang lebih 30-an menit perjalanan, kami pun sampai. Beberapa detik kemudian, datang 2 orang teman putra dari Prodi Bahasa Indonesia yang kebetulan langsung akrab dengan kami. Kami dengan PD melangkah masuk menuju ruang guru ber-empat. Duduk di kursi ruang guru, sambil sesekali melihat agak 'ngeri' ke kiri kanan kami.
Beberapa menit kemudian, kami disuruh pindah ruangan. Ternyata guru dan anak PPL beda ruang. Hehehe. Baru kami ber-empat yang ada di sana, karena kami datang 45 menit lebih awal dari jam yang ditentukan. Dalam perjalanan menuju ruangan kami, dimulailah sorakan dari murid-murid, ralat: calon murid kami, "Hai cewek...I love you..."; "Sayang...ngajar di sini ya!", dsb. Kami ber-empat hanya saling pandang dengan penuh kekagetan.
Lalu jam 12.00 tepat, acara dimulai. Teman-teman yang lain juga berdatangan. Perwakilan Unit PPL kami menyampaikan pesan yang cukup membuat kami ber-empat tertawa geli,
"Kepada wakil kepala sekolah, kami menitipkan anak-anak kami ber-sebelas dalam keadaan utuh, tolong dikembalikan juga dalam keadaan utuh..." Hahaha.

Yah, begitulah hari penyerahan PPL di STM tempat saya akan mengajar.

PS: Mengajar/tidak mengajar, kami harus masuk.
Tiap Jum'at masuk jam 6 pagi.

Postingan ini saya buat untuk kakak saya: Danang Ardiyanto

by Florentina Dian Ardi Wulandari


“Sekeping hati dibawa berlari

Jauh melalui jalanan sepi

Jalan kebenaran indah terbentang

Di depan matamu para pejuang

Tapi jalan kebenaran…

Tak akan selamanya sunyi

Ada ujian yang datang melanda

Ada perangkap menunggu mangsa”


Nasyid sepanjang masa ^_^

Satu tanjakan telah terlampaui…

Tanjakan lain pun menanti

Bila diri ini lalai walau sekali

Entah kapan tanjakan tadi akan berhasil kulalui

Ya Rabb, teguhkan niatku,bulatkan tekadku,kukuhkan imanku

Mudahkan jalanku…

Dian semangat!



Tadi saya baru saja dari sekretariat PPL di Pabelan, Solo. Saya ke sana bersama teman-teman (Iffan,Dhita,Rina dan pacar Rina. Kami bermaksud menanyakan penempatan PPL kami. Akhirnya setelah berunding, saya yang diputuskan masuk untuk menanyakan hal tersebut. Sang Bapak agak kesal rupanya, mungkin karena capek, tapi akhirnya bersedia memberikan informasi pada saya. Saya lalu mengajak teman-teman saya masuk.
Bapak tadi, yang sampai sekarang saya tidak tahu namanya, membacakan nama-nama anak Bahasa Inggris satu persatu. Dan tiba giliran nama saya dipanggil.
"Kamu mbak F. Dian, di STM M****. Alhamdulillah ya..."
Jeglar! STM M****?! Saya agak kaget juga, kaget sekali malah. Hehehe. Ya...anak-anak dan saya tadinya kalau bisa jangan sampai masuk ke situ. Tapi malah nasib berkata lain. Tadinya saya masih bertanya pada sang Bapak, "Misalnya diganti ga bisa ya Pak?"
Tapi lalu sang Bapak menyadarkan saya,
"Sekarang misalnya kamu jadi pegawai, ternyata dapat tempat yang nggak kamu pingin. Apa kamu juga bakal nggak mau ngajar di situ?"
"Enggak sih, Pak. Ya sudah deh Pak, alhamdulillah saya di situ"
"Bisa jadi nilai PPL kamu yang paling tinggi lho"
"Amiin...nggih doanya mawon pak"
Setelah itu saya dan teman-teman keluar dan duduk-duduk di teras. Masih pada kecewa dengan tempat yang mereka dapat. Tapi saya sudah iklas, niat ingsun ngajar sajalah. Toh sambil latihan.
Semangat!

Akan ada suatu saat di mana datang sebuah amanah padamu, dan kamu merasa tidak mampu untuk mengembannya, tapi pada akhirnya kau harus menerimanya. Dan akhirnya yang bisa kau lakukan adalah mencoba dan mencoba...

Berikut adalah oleh-oleh dari Lawu. Saya belum ikut naik sih...cuma dikasih oleh-oleh foto dan sesuatu. Hahahaha.



"Ga sekalian terjun ke awannya?"
"Pinginnya sih..."
"Kayaknya empuk"




Bak padang pasir



menanti sunrise...



Sebenarnya pingin meng-upload semua fotonya, tapi tar blog saya jadi blog jalan-jalan. Hehe, ga papa sih, lain kali deh kalau gitu.




Ini adalah foto daerah sekitar Tawangmangu. Tepatnya saat menuju ke Cemoro Sewu. Sebenarnya mau melanjutkan perjalanan, tapi Fikri tidak mau diajak bekerja sama. Jdi ya, terpaksa balik ke Solo lagi.

Tunggu edisi berikutnya, oleh-oleh dari Lawu =p



"Horton, mereka manusia kerdil dan pastinya sangat kecil"
"Hm...bagaimana kalau sebaliknya? Mungkin...bukan mereka yang terlalu kecil, tapi kita yang terlalu besar?"
"Horton, mereka tidak seperti kita! They aren't 'persons'"
"Persons are persons...no matter how small..."


Saya menyukai kutipan dialog di atas. Hehehe. Dialog di atas saya ambil -dengan mungkin sedikit perubahan karena ingatan saya kurang begitu bagus- dari film animasi "HORTON"

Oke. Bagaimana saya harus memulai.

Folder bag saya –berisi KRS,Sertifikat,dan artikel-artikel yang harus saya terjemahkan dan diambil Jumat- hilang.

Setiap kali saya bertanya kepada teman-teman saya, yang selalu mereka katakan adalah, “Hilangnya di mana?”.

Sayapun dengan ekspresi lelah menjawab, “Kalau aku tahu di mana, namanya bukan hilang”.

Saya sudah menyusuri ‘jejak’ folder bag saya tadi. Dari pertama kali saya keluar kos, lalu ke sebuah rental buku dan komik tempat saya ‘senang-senang’ paruh waktu, ke fotokopi-an tempat saya menjilid tugas, ke rental komputer sebelahnya, ke warung makan, ke bundaran tempat anak-anak ESA biasa rapat, ke rental film tempat saya biasa meminjam film –kemarin saya meminjam CJ7 karena dipaksa nonton oleh teman saya yang bekerja di rental film tadi, ternyata film-nya bagus lho! Saya masukkan ke daftar ‘recommended’-, dan juga minta tolong seorang teman –Dedi- untuk men-cek di warnet tempat saya kemarin terakhir kali browsing.

Saya kembali mengingat-ingat di mana saya terakhir kali memegang benda yang akhirnya membuat saya ‘pusing’ itu. Saya bukan bingung karena ada KRS yang mungkin sangat berharga demi kelangsungan dan kelancaran kuliah dan ujian saya, tapi karena ada artikel yang dipercayakan oleh seorang klien untuk diterjemahkan.

Saya jadi ingat obrolan saya dengan dua orang teman saya beberapa hari yang lalu. Teman saya mengatakan bahwa buat saya, adalah hal biasa untuk kehilangan barang-barang. Mengingat saya pernah kehilangan HP, flashdisk, uang semesteran, bahkan barang sebesar tas punggung saya –yang ini bukan salah saya. Siapa suruh, saya sedang meng-ospek anak baru, tas saya di lobi gedung E diambil takmir NH -masjid kampus- dengan alasan keamanan-, dan alhamdulillah semua selalu kembali pada saya dengan cara yang unik dan berbeda. Setiap kali hilangpun, saya tidak pernah merasa panik atau bingung. Karena saya yakin, barang-barang saya pasti kembali. Sayapun menjawab pernyataan teman saya tadi, “Kan sekarang sudah nggak lagi. Terakhir kali saya kehilangan barang kan sudah jaman kapan dulu…” Rupanya saya kemakan omongan saya sendiri. Lagi-lagi, saya kehilangan barang. Tapi kali ini, saya bingung setengah mati. Ya karena ada terjemahan itu tadi. Itu masalah tanggung jawab dan kepercayaan sih.

Folder bag tercinta, pulang dong! Kalau pulang tak kasih dodol. Hehehe.

Suatu hari di kampus.

Agung : (membuka SMS yang baru saja masuk) wah, dasar cewek...
Aku : Napa Gung? Kok bawa-bawa 'cewek' segala?
Agung : Ni, dia SMS katanya pulsanya habis.
Aku : Trus?
Agung : Kalau cewek tadinya SMS-an sama cowok, trus tiba-tiba bilang pulsanya habis, berarti dia minta ditransferi pulsa.
Aku : Wah, jangan men-generalisasi dong! Aku kalau SMS-an sama anak laki-laki, trus aku bilang bahwa pulsaku habis, itu berarti aku pingin mengakhiri pembicaraan. Alias males. Atau memang pulsaku bener-bener habis, tanpa ada maksud minta ditransferi!
Agung : Aku kan nggak ngomong semua cewek. Biasanya, Kwek...(kwek=nama panggilan saya dari agung)
Aku : Tetep nggak bisa disebut 'biasanya'. Anak perempuan kalau sudah bilang bahwa 'pulsa habis' saat sms-an sama cowok, hampir bisa dipastikan bahwa kita nggak mau meneruskan sms-an lagi. Bukan karena minta transferan pulsa. Maaf ya, emangnya
perempuan segitunya...
Agung : Ya udah...berarti nggak semua cewek kayak gitu.

Rupanya sedemikian jauhnya interpretasi yang mungkin ditimbulkan oleh bahasa SMS ya...

Dua minggu ini saya harus bolak-balik Klaten-Solo untuk membantu ibu menyiapkan persyaratan sertifikasi guru. Meskipun ayah sebenarnya adalah salah satu pihak yang melaksanakan sertifikasi, tapi beliau tidak bisa banyak membantu ibu karena beliau sibuk sendiri membantu guru-guru yang lain yang datang ke rumah silih berganti.

Yang akan saya tuliskan berikut bukanlah hal yang begitu penting mungkin, tapi bagi saya, hal berikut sangat berarti.

……………………………..

Pada suatu malam, saya sedang sibuk menyusun berkas-berkas sertifikasi ibu sampai kemudian saya mendengar perdebatan kecil terjadi di ruang tamu. saya melihat ke ruang tamu beberapa detik kemudian. Seseorang –guru- yang meinta tanda tangan ayah untuk sertifikasi, menyodorkan amplop yang saya duga berisi uang kepada ayah. ayah menolak. Guru itu tetap memaksa. Hingga akhirnya saya mendengar ayah mengatakan,

“Ini kan sudah tugas saya. Saya tidak menerima amplop apapun. Saya sudah digaji. Kalau anda bersikeras, saya malah tidak akan mau menandatangani berkas anda”

Akhirnya sang guru tersebut menurut dan memasukkan kembali amplop tersebut ke dalam tasnya.

Saya yang mengintip dari balik jendela tersenyum bangga melihat sikap ayah.

……………………………….

Pada suatu malam yang lain, sewaktu baru saja 2 orang guru pulang dari rumah saya untuk meminta tanda tangan ayah, tiba-tiba ibu menemukan sebuah map merah dan di dalamnya terdapat amplop yang berisi sejumlah uang. ayah kaget, dan menanyakan kepada kami,

“Menurutmu gimana,Din?” Tanya ayah pada saya.

“Kalau saya jadi ayah sih, saat ini juga saya susul dia dan saya kembalikan amplopnya” kata saya.

“Jam berapa ini?” Tanya ayah saya lagi.

“Jam 22.30” jawab saya.

“Ambilkan kunci motor,Din. Biar ayah kembalikan sekarang. Kamu ikut juga”

“Ya,Yah”

Kemudian saya dan ayah menyusul ke rumah guru tersebut. Sempat nyasar beberapa kali. Tapi akhirnya rumahnya pun berhasil ditemukan.

Dari perjalanan pulang dari rumah guru tersebut, saya pun berbincang dengah ayah saya tentang banyak hal. Dan saya semakin bangga dengan ayah saya =)

Saya ingin jadi kepala sekolah. Setelah lulus S1, saya akan bekerja sebagai guru yang disayangi murid-murid saya di sebuah sekolah yang patut saya perjuangkan. Saya akan menjadi guru teladan. Saya adalah guru yang jujur dan bertanggung jawab. Selama menjadi guru, saya juga melanjutkan kuliah S2 saya dan lulus dengan baik. Kemudian beberapa tahun kemudian, saya diangkat menjadi kepala sekolah di sebuah sekolah yang juga patut saya perjuangkan, tentu dengan cara yang bebas KKN. Saya menjadi kepala sekolah yang jujur dan jauh dari korupsi. Saya disayangi oleh guru-guru, karyawan-karyawan, dan juga murid-murid saya. Saya menjalankan tugas dengan baik. Selain itu, saya juga memiliki usaha pribadi di luar sekolah, tetapi tetap menjadikan sekolah sebagai prioritas utama saya. Beberapa tahun setelah itu, saya bias mendirikan sekolah sendiri dengan konsep yang saya buat bersama orang-orang yang saya percaya sebagai orang-orang yang benar-benar mau bekerja keras bersama saya memajukan pendidikan bangsa ini. Saya akhirnya tersenyum puas melihat hasil kerja kami. Dan pada suatu kesempatan saya akan mengatakan kepada rekan-rekan saya tersebut, “kita berhasil melakukannya”.

Itu adalah impian saya. Dan saya akan menggapainya!

Siang kemarin, saya dan teman saya, arie, sedang duduk-duduk di bangku satpam gedung E. Awalnya kami bertiga bersama Agung, teman kami yang ber-gender putra yang paling dekat dengan kami, tapi kemudian Agung pergi makan siang, sambil menggerutu karena kami tadi meninggalkannya makan. Lalu setelah beberapa saat, kami tidak melihat mobil dosen kami yang akan mengajar beberapa menit lagi. Kamipun berniat pulang, bolos. Kenapa? Selain kondisi kami berdua yang sedang tidak sehat dan dengan kepala yang pusing, kami memang tidak begitu tertarik mengikuti kuliah yang satu ini. Akhirnya sesampai di depan gedung, saya menghentikan langkah saya, duduk kembali. Lalu Arie mengatakan hal yang membuat saya tersenyum di tengah-tengah badan yang tidak enak.

“Kok berhenti…Nanti kalo kita ada di sini lebih lama lagi, aku takut pendirian kita goyah. Kita nanti jadi ragu-ragu untuk bolos…” katanya.

“Hah?! Hahahaha…kamu itu. Biasanya kata ‘goyah’ kan digunakan ketika membicarakan suatu penyimpangan. Ini kamu malah menggunakannya untuk hal yang seharusnya merupakan hal yang positif.”

“Habisnya…males banget. Aku ngantuk,Ant…Ke kosmu aja.”

“Yowis, yuk. Aku tar nge-blog ah! Hore…dapet bahan buat nge-blog deh”

Setelah saya piker-pikir, kata goyah yang digunakan dalam konteks di atas sama sekali tidak keliru. Hanya memang mugkin kita lebih serng mendengarnya digunakan untuk menunjukkan penyimpangan ke arah negatif. Tapi menurut saya, baik ke arah negatif ataupun positif, penyimpangan tetaplah penyimpangan kan? Jadi, teman saya tadi –saya rasa- ada benarnya juga.

Untuk memuaskan rasa penasaran saya, saya akhirnya membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Goyah: tidak teguh; tidak tetap (tt pendirian, keyakinan, kedudukan, dsb)

“Lima tahun sekali, setidaknya, orang-orang penting pada menatap rakyat dengan sedikit lebih cermat. Dan seluruh Indonesia pun dipertautkan lagi…dalam suatu momen yang agaknya jarang terjadi, mereka seakan-akan secara bergelora merasakan ke ulu hati, bahwa Indonesia –indonesia yang besar ini –adalah bagian hidup mereka” (“ah,rakyat”)

-Goenawan Mohamad-

Saya sedang menunggu pergantian jam kuliah ketika Ketua HMP ESA saya, Iffan, tampak serius membaca pamflet di papan pengumuman. Saya jadi tertarik untuk ikut membacanya juga. Setelah selesai membaca pamflet tersebut, hal yang pertama terlintas di pikiran saya adalah Pemilu tahun depan. Pamflet apakah gerangan?

Pamflet tersebut adalah pamflet yang memberitahukan adanya sayembara menulis yang memperebutkan sejumlah uang tunai dan trophy “Wiranto Mendengar Aspirasi Rakyat”.

“Ck…ck…ck…” kata inilah yang bergema dalam hati saya waktu itu. Entah kenapa saya beranggapan bahwa sayembara tersebut adalah bentuk implisit yang terlalu eksplisit dari kampanye menjelang pemilu tahun depan.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk menyinggung siapa-siapa, sungguh. Tulisan ini hanyalah sebuah ‘curhat’ dari seorang mahasiswi biasa yang kebetulan membaca sesuatu yang menarik untuk diberi komentar dan ditulis dalam blog-nya yang tidak banyak pengunjung =P

Jika Wiranto atau siapapun kandidat calon presiden tahun depan, terpilih, akankah mereka memperhatikan rakyat sama seperti ketika mereka berkampanye? Sama ketika mereka meneriakkan janji-janji manis nan indah? Sama ketika rakyat untuk sekali dalam lima tahun, menjadi begitu berharga untuk diperjuangkan?

Saya tentu tidak memiliki kompetensi apa-apa untuk memberikan penilaian ataupun penghakiman. Saya hanya bisa berharap, semoga siapapun Nahkoda Kapal RI, tahu dengan tepat kemana kapal ini akan dibawa. Sehingga meski ada badai ataupun topan yang mendera, kapal beserta awak kapal, bisa selamat sampai ke pantai.

Pernah merasa melihat atau bahkan melihat tulisan di bawah ini atau mirip tulisan di bawah ini?

TIDAK MENERIMA SUMBANGAN DALAM BENTUK APAPUN!


Bagaimana pendapat anda tentang tulisan di atas? Adakah sesuatu yang janggal? Bagi saya, tentu saja jawabannya adalah ‘ada’.

Bagi saya yang berpura-pura bodoh/ berpura-pura tidak tahu maksud sang penulis/mencoba berprasangka baik, maka saya akan mengartikan tulisan di atas sebagai sebuah ‘penolakan’ atas sumbangan yang akan diberikan oleh pihak luar kepada si penulis/instansi oleh siapa tulisan itu dibuat. Padahal pada kenyataannya, apa yang dimaksudkan oleh sang penulis/pemilik instansi/took/apapun itu di mana tulisan itu tertempel adalah bahwa mereka tidak akan memberikan dana sumbangan kepada para peminta sumbnagan dalam bentuk apapun.

Silakan protes kalau tidak sependapat, silakan marah-marah kalau saya menyinggung perasaan.

Suatu pagi di musim penghujan.

Bangun pagi, membuka jendela, menatap keindahan pagi yang masih terasa dingin. Tiba-tiba HP bunyi, kuraih dengan satu tangan, mencoba melihat siapakah gerangan yang pagi-pagi buta sudah mengirim sms.

“One data message received”

Kubuka, ternyata kiriman ringtone. Ku pilih option “play” dan bersenandunglah MLTR dengan ‘Nothing to lose’ nya. Siapakah gerangan pengirimnya?

“One message received”

Kubuka, dan barulah aku tahu pelakunya.

“Permisi, apa benar di sini rumah Yuliana?” tanya saya dan teman saya pada nenek yang memandang kami –sekelompok mahasiswa yang tiba-tiba beramai-ramai datang ke rumah beliau”

“Oh, di sini rumah neneknya. Rumah Yuliana di barat sana. Ada apa ya ini mbak?” Tanya sang nenek dengan wajah penuh kebingungan.

“Hm…begini, tadi pagi kami dapat kabar bahwa ibu dari yuliana meninggal dunia. Jadi kami ke sini bermaksud untuk takziah…”

“Ibunya sudah lama meninggal itu mbak"

“Ya, memang kami terlambat thunya. Mohon maaf atas keterlambatan kami ya Nek..Memangnya, sudah berapa minggu yang lalu meninggalnya?”

“Sudah bertahun-tahun yang lalu itu mbak”

Saya dan teman saya tadi tersenyum, saya menoleh pada teman-teman saya yang duduk-duduk di kejauhan, lalu melamjutkan obrolan kami dengan sang nenek..

“Kalau itu kan ibu kandungnya, kalau yang ibu sekarang?”

“Lho, wong ibunya masih sehat. Dia ada di rumahnya…”

“Lha, apa kami salah informasi ya Nek…”
“Mungkin yang dimaksudkan Yuliana, yang meninggal itu ibu dari pacarnya..Kalau itu, memang benar baru meninggal”

DHUENG?!!!

Begitu saya memasukkan motor saya –si Fahri-, saya kemudian mengambil jemuran saya itu satu per satu, kemudian membilasnya sekali lagi. Setelah itu saya jemur di tempat penjemuran yang ada atapnya.

Saya menunggu…15 menit,hujan tak juga reda. 30 menit, masih sama. Alhasil, saya urungkan niat saya untuk pulang malam ini. Saya sebenarnya tak begitu masalah harus pulang saat ini juga ataupun besok pagi. Tapi saya sudah terlanjur janji sama ayah saya untuk ke Jogja, menemani lihat-lihat laptop (harusnya janji ini minggu lalu, tapi ayah mendadak harus mengisi seminar, jadi ya rencananya mau ditebus besok pagi). Tapi ketika saya telepon, ayah saya mengatakan bahwa beliau tidak bisa memenuhi janjinya besok pagi, karena ada seminar lagi. Saya saat itu merasa sangat kecewa, sebenarnya (karena saya berjuang untuk pulang selarut apapun, demi memenuhi janji, tapi ternyata ayah membatalkan begitu saja, bahkan jika saya tidak telepon, mungkin saya juga tidak akan diberi tahu soal itu). Tapi kemudian saya tahu bahwa saya tak memiliki hak sedikitpun untuk marah.

He has done MORE than I’ve ever could imagine.

Ayah pernah dengan sukarela mengantarkan sebuah buku matematika yang ketinggalan di rumah ke kos –waktu SMA- hujan-hujan. Padahal sebenarnya buku itu sama sekali tidak digunakan, tapi toh saya akhirnya mengatakan bahwa buku itu sangat penting dan saya sangat senang beliau mengantarkannya. Ayah yang kebingungan setengah mati ketika saya harus di-opname di rumah sakit beberapa semester yang lalu. Ayah yang mendukung sebuah keputusan terbesar yang pernah saya ambil dalam hidup saya. Ayah yang mengatakan bahwa semua adalah salahnya, meskipun apa yang saya lakukan adalah murni karena keinginan saya. Ayah yang berhasil saya telepon setelah 2 hari tidak bisa bertemu saat gempa Joga dan sekitarnya menimpa, kemudian melarang saya untuk pulang karena merasa bahwa rumah sedang tidak aman, dan kemudian saya malah marah-marah sambil menangis karena beberapa hari ini sulit sekali menghubungi rumah, kemudian berkata bahwa saya akan ada di solo sampai gempa berhenti, tapi kemudian sore harinya saya nekat pulang dan kemudian langsung mendaftar jadi relawan Merapi, kemudian relawan gempa karena saya harus memenuhi nadzar saya (jika keluarga semua selamat, maka saya akan langsung ke Merapi bersama teman saya, Arie). Ayah yang selalu berpikir jauh ke depan –walau kadang terlalu jauh,hehehe-. Ayah yang selalu menanamkan bahwa perlu kerja keras untuk bisa berhasil, dan otak saja tidak cukup untuk itu. Ayah yang mengatakan bahwa kalau mau jadi pemimpin yang baik, saya harus bisa ‘momong’, ‘momor’,’momot’,dan ‘mumpuni’. Dan banyak hal lainnya yang membuat saya tak memiliki hak sedikitpun untuk merasa kesal. Oleh sebab itu, saya tidak jadi menuliskan kata ‘KESAL!!!’ sebagai judul postingan saya kali ini.

HIKS…

Tahukah kamu, sebenarnya saya ingin menuliskan kata berikut ini sebagai header postingan saya kali ini:


KESAL!!!


Tapi kemudian saya urungkan niat saya, karena tak ada gunanya marah-marah sendiri. Hm…dan akhirnya, yang saya bisa lakukan adalah menceritakan kronologi peristiwa kenapa tadi saya sempat berniat menuliskan kata tersebut.

Begini ceritanya,

Beberapa hari yang lalu, saya baru tahu kalau ternyata tempat kerja saya tidak libur saat Maulid Nabi dan Paskah. Meskipun kecewa, saya terima, toh itu konsekuensi yang harus saya terima atas pekerjaan saya. Kemudian, hari berikutnya, saya juga harus di kos sendiri karena teman-teman kos mudik, menghabiskan sisa liburan mereka di rumah masing-masing. Alhasil saya hanya ditemani beberapa buku yang saya baca habis dalam semalam, dan sms dari 2 orang sahabat saya.

Pagi harinya, saya bangun kesiangan. Berhubung sedang tidak sholat, dan tadi saya bangun jam 3 pagi sampai menjelang shubuh untuk baca buku, alhasil jam 5 pagi saya kembali terlelap di bawah buku yang saya baca. Niat untuk browsing hemat internet jadi luntur. Tapi saya tetap pergi ke warnet dekat kos saya karena benar-benar terpaksa harus cari bahan tugas. Dan sudah bisa ditebak, biaya yang saya keluarkan jauh lebih banyak. Saya hanya bisa berandai-andai saat itu, “coba tadi bisa browsing pas happy hours”.

Kemudian sepulangnya dari browsing, niat saya ingin cari brunch –breakfast and lunch, makannya dijamak,hehehe- di warung biasanya, karena saya pikir kalau saya menanak nasi takut nanti tidak habis karena niatnya sore mau mudik. Tapi sudah jauh-jauh ke warung yang saya maksudkan tadi, ternyata tutup. Ya sudah, saya cari warung yang buka. Agak sulit memang, karena hari ini hari libur. Tapi toh akhirnya dapat juga.

Lalu siang harinya, setelah packing siap-siap untuk mudik sore harinya, saya berangkat ke tempat kerja. Belum beberapa lama saya duduk, tiba-tiba awan hitam membayang kota Solo. Saya baru selesai membalas sms seorang teman dan mengatakan bahwa semoga sore ini tidak hujan meskipun mendung sudah jelas-jelas ada di atas saya, ketika hujan tiba-tiba “brus!” jatuh dengan sempurna! Saya masih agak tenang, karena saya berharap pada saat saya pulang nanti, hujan akan reda. Tapi ternyata harapan saya memang lebih suka disebut sebagai harapan. Dia tak mau berubah wujud menjadi kenyataan. Hujan masih tetap melompat-lompat dengan riangnya di atas karpet aspal kota Solo dan sekitarnya.

Sampai saat saya selesai kerja, keadaan tak begitu banyak berubah –kecuali hujan yang semakin deras-. Saya masih berharap ada keajaiban. Kemudian saya pulang ke kos dulu, niatnya mau mengambil barang-barang yang mau dibawa pulang ke rumah. Begitu saya membuka pintu kos, hati saya sedikit kesal, karena cucian saya masih menari-nari di tiang jemuran tersapu angin dan air hujan.

bersambung...

Akhir-akhir ini, saya jadi bisa merasakan, bagaimana kakak-kakak tingkat saya ketika mereka ditanya soal skripsi. Karena pada akhirnya, beberapa minggu terakhir, pertanyaan itulah yang selalu saya dengan ketika saya pulang ke rumah.

Ibu selalu bertanya, "Gimana skripsinya? Dah ngajuin judul belum?". Dan pertanyaan tersebut selalu ada setiap minggunya.

Saya sebenarnya sudah punya judul, hanya saja saya kurang yakin akan mengangkatnya menjadi bahan skripsi saya. Sekarang baru dalam tahap 'memantapkan hati', supaya tidak menyesal di tengah perjalanan saya menyusun skripsi. Mungkin yang namanya orang tua, inginnya ya anaknya cepat lulus dan cepat bekerja. Saya tentu juga berpikir sama, sudah besar, sudah saatnya cari uang sendiri.

Beberapa waktu lalu saya dan teman saya terlibat percakapan seputar masalah ini. Yang jelas, harus SEMANGAT! I can do this!



SEMANGAT!!!

Waktu semester satu dulu, di sebuah kelas speaking, saya dapat topik "the most important person in your life". Saya waktu itu menceritakan ayah saya. Di kelas speaking yang lain saya dapat jatah untuk mendeskripsikan "my idol", saya waktu itu, juga mendeskripsikan ayah saya. Di kelas speaking yang lain, saya sampai heran, saya dapat topik untuk menceritakan orang yang paling saya sayangi, waktu itupun saya menceritakan ayah saya. Kata teman-teman, ayah saya itu pacar saya. Ha..ha..ha...Lucu sekali.
Memang saya lebih dekat dengan ayah daripada dengan ibu -karena alasan tertentu-. Mungkin memang benar kata orang, anak perempuan cenderung lebih dekat ke ayah daripada ke ibu, dan sebaliknya. Ya...tapi itu semua kan tergantung orangnya.
Ayah...Bagaimana saya harus mendeskripsikan ayah saya ya. Beliau itu lebih tinggi dari saya-selisihnya tipis sih-,berkulit sawo matang-kadang beliau sering bilang bahwa kulitnya putih,hahaha, mana mungkin putih wong ke sawah terus-, pekerja keras -bisa dipastikan, setelah pulang dari kantor, pasti langsung ke sawah-, kreatif -berkebun, menanam sayuran dan buah, juga investasi jati), humoris (yang ini, bisa membuat saya ketawa tiap hari sekaligus kesal),narsis (kalau masak ni ya, semua orang rumah pasti disuruh ikut makan,padahal rasa masakan ayah saya itu...gimana ya...Kalau dibandinggkan dengan masakan ibu yang notabene jago masak, duh...jauuuuuu.....h.Maaf ya, Yah!).
Selain itu, ayah juga berpikiran jauh ke depan, mungkin kejauhan kali ya. Dulu, waktu saya memilih fakultas untuk universitas, ayah saya memberikan pertimbangan yang sederhana, tapi toh saya akhirnya menerima. Beliau mengatakan bahwa saya-sebagai seorang perempuan-, lebih cocok masuk FKIP, dengan pertimbangan bahwa profesi ini juga mendukung kehidupan rumah tangga.Ha..ha..ha..adakah orang tua lain yang memberikan pertimbangan seperti ini pada anak gadisnya ya? Saya masih bertanya-tanya.
Ayah juga seperti memiliki hubungan batin dengan saya. Entahlah...Tapi yang jelas, kalau ayah sedang ada masalah atau sedang sakit, saya pasti tahu, dan langsung menelepon. Begitu juga sebaliknya. Dulu waktu saya sakit, ayah saya menelepon dan menanyakan kabar saya. Waktu beliau tahu kalau saya sakit, beliau langsung berkata pada ibu yang ada di seberang telepon "lho, rak tenan to. Lara". (Lho benar kan, sakit).He..he..he..
Ayah saya itu terlalu sayang sama anak-anaknya. Beliau juga nggak tegaan. Kalau adik saya atau saya lagi sakit, ekspresi wajahnya pasti langsung menakutkan. Gelap. =) Ini berdasarkan komentar teman-teman saya lho...
Apalagi ya...karena saya juga sedang mencari bahan buat tugas, saya jadi bingung nulisnya. Besok disambung lagi saja ya...

Pagi ini saya berangkat kuliah dengan agak malas. Masalahnya, selain badan yang kurang enak, juga karena mata kuliah pagi ini. Perlu diketahui bahwa mata kuliah tersebut bernama ELT Material Development. Sebenarnya yang salah bukanlah mata kuliahnya, melainkan dosennya. Sudah kebiasaan sang bapak kalau mengajar, tidak berkualitas. Bagaimana bisa berkualitas, kalau isinya cuma obrolan tidak jelas.

Akhirnya pagi ini, tetap seperti yang saya duga. Sang bapak ngalor-ngidul tidak jelas membicarakan apa. Sehingga saya pun sulit mengerti apa yang ia bicarakan. Alhasil, saya pun menghabiskan waktu dengan membaca buku lain dan 'berbincang' dengan teman di samping saya. Lalu saya agak kaget karena sang bapak tiba-tiba menunjuk saya untuk menjawab pertanyaannya. Saya, jujur, tidak tahu soalnya apa, langsung saja saya jawab, "observation".

Sang bapak lalu melempar pertanyaan tadi pada teman saya yang lain karena ternyata jawaban saya salah. Teman saya menjawab "analysis", dan benar. Yang terjadi berikutnya adalah sebagai berikut:

"Wah, dulu ELT Curriculum dapat berapa mbak?" tanya dosen saya.

Karena teringat bahwa nilai yang diberikan oleh sang bapak pada semester yang lalu sangatlah tidak adil (teman saya hampir semua dapat IP 4 -saya juga-, bahkan yang tidak pernah masuk dan tidak mengumpulkan tugas), maka saya tertarik untuk melampiaskan perasaan saya.

"Saya juga kaget Pak, saya dapat 4" kata saya dengan memberikan penegasan pada klausa Saya juga kaget Pak.

"Wah, harusnya mas nya tadi yang dapat 4"

"Silakan diganti kalau mau diganti" jawab saya.

"Apa begitu? Yang kamu minta ganti itu nilai kamu atau saya yang diganti?" tanya dosen saya.

"Nilai saya" (Walaupun dalam hati, saya memilih dua-duanya diganti)

"Kok begitu...(atau entah dia berkata apa,saya kurang bisa mendengarnya)

"Kalu memang mau diganti, ya silakan saja diganti. Saya juga merasa ga pantas dapat nilai 4"

Dan begitulah percakapan agak menegangkan di kelas pagi ini. Perlu diketahui bahwa meskipun sudah kuliah bersamanya selama 1 semester, tapi rasanya saya tidak mendapatkan apa-apa, kecuali ceritanya yang sebagian besar berkebalikan dengan kenyataan, dan saya dapat 4 saudara-saudara!

Kemudian, komentar yang mengejutkan keluar dari Novi dan Pipit, teman saya.

"*Dyong, salut!" kata Novi.

"Salut kenapa?" tanya saya.

"Tadi di kelas, sama pak Kamto..." katanya mencoba menjelaskan, tapi kemudian disabotase Pipit.

"Iya, biar dia itu tahu kalau mahasiswanya itu nggak suka sama cara ngajarnya dan caranya ngasih nilai!"

"Biasa saja. Aku kan cuma mengungkapkan perasaan"

Itu tadi cerita saya tentang kuliah pagi ini. Walaupun saya agak cemas juga kalau-kalau nilai saya jadi jelek karena masalah tadi, tapi paling tidak, saya merasa lega.

*Dyong= nama panggilan saya, dari Novi.


Sekarang saya punya beberapa kerjaan sambilan di luar kampus. Salah satunya adalah di rental buku dan komik, yang tidak perlu saya sebutkan namanya. Ada kenyataan yang membuat saya agak terkejut dan kecewa. Bodohnya, saya tidak tahu harus bagaimana dan berbuat apa untuk menghadapinya.

Beberapa hari bekerja di sana, saya jadi tahu bahwa banyak orang -bahkan anak kecil- meminjam buku/komik/majalah berjenis H. Tentu saja saya sebagai petugas, harus dengan senang hati meminjamkan. Tapi dengan begitu, saya jadi ikut ambil bagian dalam rusaknya generasi bangsa. Yang biasa saya lakukan saat ini hanyalah sekedar menjadikannya topik untuk berbincang-bincang dengan pelanggan. Berikut adalah kutipan dari percakapan saya dengan beberapa pelanggan.

"Heran ya, anak muda zaman sekarang bacannya sudah ngeri-ngeri" kata saya.
"Ngeri gimana mbak?" kata pelanggan.
"Ya ngeri. Masa' ada anak SMP baca komik berjenis hentai! Ck..ck..ck..Sudah gitu, ga sedikit juga *mbak-mbak yang minjem kayak gituan...Heran...Kaget..." kata saya keras-keras
"Hm...iya ya mbak..."

GOL!!!

Tepat sasaran.Ha ha ha...Yang tadinya mau pinjam, jadi sungkan. He he he. Tapi kalau sampai ketahuan bos, bisa dipecat ni.

ps : yang saya maksud dengan *mbak-mbak di atas adalah perempuan dengan jilbab menutup aurat yang saya pikir -sampai saat ini- tidak mungkin meminjam majalah/buku/komik seperti itu. Bukannya saya menjelek-jelekkan, hanya saja saya tidak suka kalau sampai orang berpendapat negatif tentang islam padahal yang rusak adalah orang-orangnya.

Saat ini, saya sedang menghabiskan paket browsing saya -2 jam- di sebuat warnet dekat kos. Baru beberapa menit saya menikmati aktivitas saya, tiba-tiba sesosok manusia dengan jaket hitam dan tas ransel hitam berkelebat di depan bilik saya. Serta merta sosok hitam tadi mengacak-acak kepala saya sampai jilbab yang saya kenakan kusut. Beberapa saat dihabiskan dengan saling pukul dan cubit. Tapi anehnya, baik ia ataupun saya tak menunjukkan tanda-tanda kemarahan. Ada apakah gerangan?

Jawabannya adalah karena ia, sosok hitam dengan tas ransel besar di punggungnya, adalah sahabat lama yang datang dari jauh. Ia adalah salah satu anggota Matahari Pintar (sebuah grup kecil beranggotakan 3 orang perempuan -saya, nia, dan arie-).

Setelah sekian lama tidak bertemu karena ia memutuskan untuk meninggalkan bangku kuliah dan bekerja -sekarang ia kuliah sambil kerja tetapi di lain kota-, akhirnya kami bertemu lagi. Senang, rindu, juga kesal bercampur jadi satu. Dan setiap kali kami bertemu, yang kami lakukan bukanlah saling peluk bermanis-manis ria, melainkan saling pukul atapun mengacak-acak kepala temannya, bahkan juga saling menginjak kaki. Dan semua itu terjadi begitu saja. Saya kembali teringat semboyan salah seorang teman saya bahwa "violence is the symbol of love".

Ketika mendengarnya pertama kali, saya heran, mana mungkin kekerasan merupakan simbol rasa cinta? Tapi kemudian saya justru mengalaminya sendiri. Ketika sedang akur dengan sahabat-sahabat saya, maka yang terjadi adalah kami saling cubit ataupun injak. Tapi ketika kami sedang tidak cocok ataupun jenuh, maka yang terjadi adalah meskipun tetap bersama, kami akan saling bersikap sopan. Aneh? Saya rasa tidak.

Hm..hm..hm..

'Dia' di sini bukanlah pacar ataupun orang yang sebaya dengan saya. Jadi dilarang salah sangka. 'Dia' di sini adalah dosen saya yang mengajar Functional Grammar. Setelah 'berpisah' (baca: tidak mengajar saya) selama 2 semester, akhirnya kami dipertemukan kembali dalam kuliah yang menyenangkan ini. Seperti yang pernah saya ceritakan di blog saya yang lama, bahwa saya memang suka sekali diajar oleh beliau. Selain karena keobjektifannya dalam memberi nilai, beliau juga cerdas dan suka berdebat.

Satu setengah jam kuliah bersamanya hari ini, rasanya begitu capat berlalu. Dan saya bertambah senang padanya dan kuliahnya karena sekrang kemampuan mengajar beliau sudah sangat berkembang dibandingkan beberapa semester lalu. Sekarang, lebih mudah untuk mencerna materi yang beliau ajarkan. Bukan itu saja, materi yang diajarkannya terkemas secara apik dan menarik serta tidak terkesan membosankan. Beliau paling bisa mengukur seberapa kemampuan anak didiknya untuk kemudian menyesuaikan dengan materi ajar.

Setelah kuliah berakhir, saya enggan sekali untuk beranjak dari ruang kelas. Karena apa? Karena mengingat kuliah setelah jam Functional Grammar adalah TEFL III, dan saya tidak begitu senang dengan mata kuliah ini. Well, actually, I don't like the lecturer...And guess what, I was totally sleepy during the lecture. Oya, sebuah kejadian yang seru sekali selama kuliah TEFL III, Mr.Gun was on fire! Pagi ini, beliau -entah kenapa- berapi-apai sekali 'menghujat' sinetron, gaya anak muda zaman sekarang, sampai mantan menteri pendidikan kita. Entah ada angin apa sampai beliau begitu 'murka'. :) Maaf,Pak.


Melanjutkan postingan saya sebelumnya, saya bertambah kesal menghadapi minggu-minggu 'banjir beasiswa PPA' setelah munculnya keputusan dari dosen saya yang mengurusi beasiswa bahwa mahasiswa yang mendaftar PPA dengan gaji orang tua lebih dari Rp 2.000.000 akan langsung dimasukkan ke dalam daftar cadangan. Bberapa adik tingkat saya akhirnya masuk ke dalam daftar tersebut. Sebenanrnya saya tidak bisa memahami, beasiswa PPA itu untuk apa dan siapa? Bukankah tujuan awal dibukanya beasiswa tersebut adalah untuk menghargai dan memotivasi mahasiswa-mahasiswa dengan prestasi yang baik dan tak ada hubungannya dengan berapa gaji orang tuanya?

Bukannya apa-apa, hanya saja terkadang dosen ataupun pihak yang menyeleksi lolos tidaknya seorang mahasiswa dalam perebutan beasiswa, tidaklah benar-benar mengerti kondisi mahasiswa. Banyak mahasiswa yang mengaku tidak mampu, tapi ternyata setelah mendapatkan beasiswa, uangnya malah digunakan untuk bersenang-senang yang tidak pada tempatnya. Nonton film di bioskop, makan-makan, dsb, yang saya rasa merupakan tindakan yang tidak terpuji.

Kembali lagi ke masalah beasiswa PPA. Kalau ada yang membaca tulisan ini, bisakah menjelaskan pada saya, bagian mana dari beasiswa PPA yang menjelaskan bahwa yang boleh mendaftar hanya mereka yang tidak mampu? Bagian mana yang menjelaskan bahwa yang boleh mendaftar hanya mereka yang orang tuanya memiliki gaji di bawah Rp 2.000.000? Di manakah letak penghargaan kepada mereka yang telah bersusah payah mempertahankan prestasi mereka dari semester pertama?

Beberapa waktu lalu, tepatnya 2 minggu yang lalu, saya dan beberapa orang teman dipanggil oleh seorang dosen untuk datang ke kantor beliau. Sesampai kami di sana, ternyata beliau menyampaikan bahwa kami harus mencari syarat-syarat perpanjangan beasiswa Supersemar dan harus dikumpulkan keesokan paginya (setelah dihitung-hitung, waktunya kurang dari 24 jam). Spontan saya dalam hati menghela nafas panjang. Bagaimana mungkin kami bisa memenuhi persyaratan tersebut dalam waktu kurang dari 24 jam? Kemudian beliau mencari cadangan seorang mahasiswa untuk menggantikan posisi saya. Saya pun langsung menerimanya, karena dibandingkan saya, nampaknya teman saya tadi lebih membutuhkan (walaupun saya akhirnya kesal juga karena ternyata teman saya yang lain yang jauh lebih membutuhkan, malah tidak dapat).

Beberapa hari berlalu. Muncul pengumuman baru lagi, ada beasiswa PPA (Peningkatan Prestasi Akademik). Saya pun mendaftar dengan beberapa adik tingkat saya. Kami diberi waktu untuk mengumpulkan persyaratan-persyaratan pendaftaran. Saya pun sudah menyiapkan, tinggal minta tanda tangan dari Pembantu Dekan III. Deadline hari tinggal 2 hari, saya belum sempat mengurus persyaratan beasiswa saya, karena harus menjadi koordinator acara sebuah kegiatan di kampus (ESA'S FAIR 2008) dan tak bisa ditinggal. Selama acara berlangsung selama 4 hari, saya kehilangan banyak sekali panitia, yang ternyata meninggalkan acara persiapan untuk mengurus beasiswa. Saya saat itu rela-rela saja, hanya mungkin semapat terbersit rasa kesal karena harus kerja sendirian.

Akhirnya, saya pun tak bisa mengejar waktu untuk mengurusi beasiswa saya tadi. Ya sudahlah, nasi sudah menjadi bubur, tinggal ditambah ayam,jadilah bubur ayam. Yang terpenting, acara sukses. Beasiswa mungkin bisa cari yang lainnya saja.

Kuawali tulisan ini dengan penuh semangat. Ini adalah blog baruku setelah blog yang lama isinya sangat kacau -tercampur antara cerita pribadi dan komentar-komentar-. Akhirnya jadilah blog ini sebagai curahan sebagian isi hati. Jika ada yang kurang berkenan, mohon maaf atas segala kekurangan.
Semoga blog ini berikut cerita-cerita yang termuat di dalamnya bermanfaat untuk pembaca yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja membaca blogini. Terima kasih atas kesediaannya membaca sedikit ceritaku. Tetap semangat!!!