Dua minggu ini saya harus bolak-balik Klaten-Solo untuk membantu ibu menyiapkan persyaratan sertifikasi guru. Meskipun ayah sebenarnya adalah salah satu pihak yang melaksanakan sertifikasi, tapi beliau tidak bisa banyak membantu ibu karena beliau sibuk sendiri membantu guru-guru yang lain yang datang ke rumah silih berganti.

Yang akan saya tuliskan berikut bukanlah hal yang begitu penting mungkin, tapi bagi saya, hal berikut sangat berarti.

……………………………..

Pada suatu malam, saya sedang sibuk menyusun berkas-berkas sertifikasi ibu sampai kemudian saya mendengar perdebatan kecil terjadi di ruang tamu. saya melihat ke ruang tamu beberapa detik kemudian. Seseorang –guru- yang meinta tanda tangan ayah untuk sertifikasi, menyodorkan amplop yang saya duga berisi uang kepada ayah. ayah menolak. Guru itu tetap memaksa. Hingga akhirnya saya mendengar ayah mengatakan,

“Ini kan sudah tugas saya. Saya tidak menerima amplop apapun. Saya sudah digaji. Kalau anda bersikeras, saya malah tidak akan mau menandatangani berkas anda”

Akhirnya sang guru tersebut menurut dan memasukkan kembali amplop tersebut ke dalam tasnya.

Saya yang mengintip dari balik jendela tersenyum bangga melihat sikap ayah.

……………………………….

Pada suatu malam yang lain, sewaktu baru saja 2 orang guru pulang dari rumah saya untuk meminta tanda tangan ayah, tiba-tiba ibu menemukan sebuah map merah dan di dalamnya terdapat amplop yang berisi sejumlah uang. ayah kaget, dan menanyakan kepada kami,

“Menurutmu gimana,Din?” Tanya ayah pada saya.

“Kalau saya jadi ayah sih, saat ini juga saya susul dia dan saya kembalikan amplopnya” kata saya.

“Jam berapa ini?” Tanya ayah saya lagi.

“Jam 22.30” jawab saya.

“Ambilkan kunci motor,Din. Biar ayah kembalikan sekarang. Kamu ikut juga”

“Ya,Yah”

Kemudian saya dan ayah menyusul ke rumah guru tersebut. Sempat nyasar beberapa kali. Tapi akhirnya rumahnya pun berhasil ditemukan.

Dari perjalanan pulang dari rumah guru tersebut, saya pun berbincang dengah ayah saya tentang banyak hal. Dan saya semakin bangga dengan ayah saya =)

Saya ingin jadi kepala sekolah. Setelah lulus S1, saya akan bekerja sebagai guru yang disayangi murid-murid saya di sebuah sekolah yang patut saya perjuangkan. Saya akan menjadi guru teladan. Saya adalah guru yang jujur dan bertanggung jawab. Selama menjadi guru, saya juga melanjutkan kuliah S2 saya dan lulus dengan baik. Kemudian beberapa tahun kemudian, saya diangkat menjadi kepala sekolah di sebuah sekolah yang juga patut saya perjuangkan, tentu dengan cara yang bebas KKN. Saya menjadi kepala sekolah yang jujur dan jauh dari korupsi. Saya disayangi oleh guru-guru, karyawan-karyawan, dan juga murid-murid saya. Saya menjalankan tugas dengan baik. Selain itu, saya juga memiliki usaha pribadi di luar sekolah, tetapi tetap menjadikan sekolah sebagai prioritas utama saya. Beberapa tahun setelah itu, saya bias mendirikan sekolah sendiri dengan konsep yang saya buat bersama orang-orang yang saya percaya sebagai orang-orang yang benar-benar mau bekerja keras bersama saya memajukan pendidikan bangsa ini. Saya akhirnya tersenyum puas melihat hasil kerja kami. Dan pada suatu kesempatan saya akan mengatakan kepada rekan-rekan saya tersebut, “kita berhasil melakukannya”.

Itu adalah impian saya. Dan saya akan menggapainya!

Siang kemarin, saya dan teman saya, arie, sedang duduk-duduk di bangku satpam gedung E. Awalnya kami bertiga bersama Agung, teman kami yang ber-gender putra yang paling dekat dengan kami, tapi kemudian Agung pergi makan siang, sambil menggerutu karena kami tadi meninggalkannya makan. Lalu setelah beberapa saat, kami tidak melihat mobil dosen kami yang akan mengajar beberapa menit lagi. Kamipun berniat pulang, bolos. Kenapa? Selain kondisi kami berdua yang sedang tidak sehat dan dengan kepala yang pusing, kami memang tidak begitu tertarik mengikuti kuliah yang satu ini. Akhirnya sesampai di depan gedung, saya menghentikan langkah saya, duduk kembali. Lalu Arie mengatakan hal yang membuat saya tersenyum di tengah-tengah badan yang tidak enak.

“Kok berhenti…Nanti kalo kita ada di sini lebih lama lagi, aku takut pendirian kita goyah. Kita nanti jadi ragu-ragu untuk bolos…” katanya.

“Hah?! Hahahaha…kamu itu. Biasanya kata ‘goyah’ kan digunakan ketika membicarakan suatu penyimpangan. Ini kamu malah menggunakannya untuk hal yang seharusnya merupakan hal yang positif.”

“Habisnya…males banget. Aku ngantuk,Ant…Ke kosmu aja.”

“Yowis, yuk. Aku tar nge-blog ah! Hore…dapet bahan buat nge-blog deh”

Setelah saya piker-pikir, kata goyah yang digunakan dalam konteks di atas sama sekali tidak keliru. Hanya memang mugkin kita lebih serng mendengarnya digunakan untuk menunjukkan penyimpangan ke arah negatif. Tapi menurut saya, baik ke arah negatif ataupun positif, penyimpangan tetaplah penyimpangan kan? Jadi, teman saya tadi –saya rasa- ada benarnya juga.

Untuk memuaskan rasa penasaran saya, saya akhirnya membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Goyah: tidak teguh; tidak tetap (tt pendirian, keyakinan, kedudukan, dsb)