Begitu saya memasukkan motor saya –si Fahri-, saya kemudian mengambil jemuran saya itu satu per satu, kemudian membilasnya sekali lagi. Setelah itu saya jemur di tempat penjemuran yang ada atapnya.

Saya menunggu…15 menit,hujan tak juga reda. 30 menit, masih sama. Alhasil, saya urungkan niat saya untuk pulang malam ini. Saya sebenarnya tak begitu masalah harus pulang saat ini juga ataupun besok pagi. Tapi saya sudah terlanjur janji sama ayah saya untuk ke Jogja, menemani lihat-lihat laptop (harusnya janji ini minggu lalu, tapi ayah mendadak harus mengisi seminar, jadi ya rencananya mau ditebus besok pagi). Tapi ketika saya telepon, ayah saya mengatakan bahwa beliau tidak bisa memenuhi janjinya besok pagi, karena ada seminar lagi. Saya saat itu merasa sangat kecewa, sebenarnya (karena saya berjuang untuk pulang selarut apapun, demi memenuhi janji, tapi ternyata ayah membatalkan begitu saja, bahkan jika saya tidak telepon, mungkin saya juga tidak akan diberi tahu soal itu). Tapi kemudian saya tahu bahwa saya tak memiliki hak sedikitpun untuk marah.

He has done MORE than I’ve ever could imagine.

Ayah pernah dengan sukarela mengantarkan sebuah buku matematika yang ketinggalan di rumah ke kos –waktu SMA- hujan-hujan. Padahal sebenarnya buku itu sama sekali tidak digunakan, tapi toh saya akhirnya mengatakan bahwa buku itu sangat penting dan saya sangat senang beliau mengantarkannya. Ayah yang kebingungan setengah mati ketika saya harus di-opname di rumah sakit beberapa semester yang lalu. Ayah yang mendukung sebuah keputusan terbesar yang pernah saya ambil dalam hidup saya. Ayah yang mengatakan bahwa semua adalah salahnya, meskipun apa yang saya lakukan adalah murni karena keinginan saya. Ayah yang berhasil saya telepon setelah 2 hari tidak bisa bertemu saat gempa Joga dan sekitarnya menimpa, kemudian melarang saya untuk pulang karena merasa bahwa rumah sedang tidak aman, dan kemudian saya malah marah-marah sambil menangis karena beberapa hari ini sulit sekali menghubungi rumah, kemudian berkata bahwa saya akan ada di solo sampai gempa berhenti, tapi kemudian sore harinya saya nekat pulang dan kemudian langsung mendaftar jadi relawan Merapi, kemudian relawan gempa karena saya harus memenuhi nadzar saya (jika keluarga semua selamat, maka saya akan langsung ke Merapi bersama teman saya, Arie). Ayah yang selalu berpikir jauh ke depan –walau kadang terlalu jauh,hehehe-. Ayah yang selalu menanamkan bahwa perlu kerja keras untuk bisa berhasil, dan otak saja tidak cukup untuk itu. Ayah yang mengatakan bahwa kalau mau jadi pemimpin yang baik, saya harus bisa ‘momong’, ‘momor’,’momot’,dan ‘mumpuni’. Dan banyak hal lainnya yang membuat saya tak memiliki hak sedikitpun untuk merasa kesal. Oleh sebab itu, saya tidak jadi menuliskan kata ‘KESAL!!!’ sebagai judul postingan saya kali ini.

4 komentar:

Anonim mengatakan...

saya baca tulisan anda di blognya pak satria dharma. kuliah di FKIP inggris mana mbak?UNS?Angkatan berapa?masih kondusifkah kondisi disana?? you may reply to firman_mbolali@yahoo.com

regards,
Firman

F.Dian Ardi Wulandari mengatakan...

Ini siapa ya?
Pak Satria Dharma itu yang mana?Wah,mohon maaf,Kadang saya suka mampir melihat blog dan berkomentar,tapi lupa nama blognya.
UNS alhamdulillah...

turabul-aqdam mengatakan...

waduuuh.. sudah lama ga nengok blog yang satu ini. :)

BTW, kapan dian ngasih nama ke motornya? setelah nonton AAC y? hihihihi...

F.Dian Ardi Wulandari mengatakan...

Tuqrabul Aqdam: hehe,nama Fahri diambil ga ada hubungannya dengan film AAC -saya,jujur saja, ga suka film nya-
Tapi karena nama yang mau saya ambil ternyata sudah dipakai oleh sahabat saya,untuk menamai motornya juga- jadi ya saya ambil nama itu. Nama motor saya, Adiya Fahri.Bagus kan?Hehehe
Ini blog baru saya, yang lama sudah ditinggalkan=)
Ditungu komentar-komentarnya di blog baru saya...