“Lima tahun sekali, setidaknya, orang-orang penting pada menatap rakyat dengan sedikit lebih cermat. Dan seluruh Indonesia pun dipertautkan lagi…dalam suatu momen yang agaknya jarang terjadi, mereka seakan-akan secara bergelora merasakan ke ulu hati, bahwa Indonesia –indonesia yang besar ini –adalah bagian hidup mereka” (“ah,rakyat”)

-Goenawan Mohamad-

Saya sedang menunggu pergantian jam kuliah ketika Ketua HMP ESA saya, Iffan, tampak serius membaca pamflet di papan pengumuman. Saya jadi tertarik untuk ikut membacanya juga. Setelah selesai membaca pamflet tersebut, hal yang pertama terlintas di pikiran saya adalah Pemilu tahun depan. Pamflet apakah gerangan?

Pamflet tersebut adalah pamflet yang memberitahukan adanya sayembara menulis yang memperebutkan sejumlah uang tunai dan trophy “Wiranto Mendengar Aspirasi Rakyat”.

“Ck…ck…ck…” kata inilah yang bergema dalam hati saya waktu itu. Entah kenapa saya beranggapan bahwa sayembara tersebut adalah bentuk implisit yang terlalu eksplisit dari kampanye menjelang pemilu tahun depan.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk menyinggung siapa-siapa, sungguh. Tulisan ini hanyalah sebuah ‘curhat’ dari seorang mahasiswi biasa yang kebetulan membaca sesuatu yang menarik untuk diberi komentar dan ditulis dalam blog-nya yang tidak banyak pengunjung =P

Jika Wiranto atau siapapun kandidat calon presiden tahun depan, terpilih, akankah mereka memperhatikan rakyat sama seperti ketika mereka berkampanye? Sama ketika mereka meneriakkan janji-janji manis nan indah? Sama ketika rakyat untuk sekali dalam lima tahun, menjadi begitu berharga untuk diperjuangkan?

Saya tentu tidak memiliki kompetensi apa-apa untuk memberikan penilaian ataupun penghakiman. Saya hanya bisa berharap, semoga siapapun Nahkoda Kapal RI, tahu dengan tepat kemana kapal ini akan dibawa. Sehingga meski ada badai ataupun topan yang mendera, kapal beserta awak kapal, bisa selamat sampai ke pantai.

Pernah merasa melihat atau bahkan melihat tulisan di bawah ini atau mirip tulisan di bawah ini?

TIDAK MENERIMA SUMBANGAN DALAM BENTUK APAPUN!


Bagaimana pendapat anda tentang tulisan di atas? Adakah sesuatu yang janggal? Bagi saya, tentu saja jawabannya adalah ‘ada’.

Bagi saya yang berpura-pura bodoh/ berpura-pura tidak tahu maksud sang penulis/mencoba berprasangka baik, maka saya akan mengartikan tulisan di atas sebagai sebuah ‘penolakan’ atas sumbangan yang akan diberikan oleh pihak luar kepada si penulis/instansi oleh siapa tulisan itu dibuat. Padahal pada kenyataannya, apa yang dimaksudkan oleh sang penulis/pemilik instansi/took/apapun itu di mana tulisan itu tertempel adalah bahwa mereka tidak akan memberikan dana sumbangan kepada para peminta sumbnagan dalam bentuk apapun.

Silakan protes kalau tidak sependapat, silakan marah-marah kalau saya menyinggung perasaan.

Suatu pagi di musim penghujan.

Bangun pagi, membuka jendela, menatap keindahan pagi yang masih terasa dingin. Tiba-tiba HP bunyi, kuraih dengan satu tangan, mencoba melihat siapakah gerangan yang pagi-pagi buta sudah mengirim sms.

“One data message received”

Kubuka, ternyata kiriman ringtone. Ku pilih option “play” dan bersenandunglah MLTR dengan ‘Nothing to lose’ nya. Siapakah gerangan pengirimnya?

“One message received”

Kubuka, dan barulah aku tahu pelakunya.

“Permisi, apa benar di sini rumah Yuliana?” tanya saya dan teman saya pada nenek yang memandang kami –sekelompok mahasiswa yang tiba-tiba beramai-ramai datang ke rumah beliau”

“Oh, di sini rumah neneknya. Rumah Yuliana di barat sana. Ada apa ya ini mbak?” Tanya sang nenek dengan wajah penuh kebingungan.

“Hm…begini, tadi pagi kami dapat kabar bahwa ibu dari yuliana meninggal dunia. Jadi kami ke sini bermaksud untuk takziah…”

“Ibunya sudah lama meninggal itu mbak"

“Ya, memang kami terlambat thunya. Mohon maaf atas keterlambatan kami ya Nek..Memangnya, sudah berapa minggu yang lalu meninggalnya?”

“Sudah bertahun-tahun yang lalu itu mbak”

Saya dan teman saya tadi tersenyum, saya menoleh pada teman-teman saya yang duduk-duduk di kejauhan, lalu melamjutkan obrolan kami dengan sang nenek..

“Kalau itu kan ibu kandungnya, kalau yang ibu sekarang?”

“Lho, wong ibunya masih sehat. Dia ada di rumahnya…”

“Lha, apa kami salah informasi ya Nek…”
“Mungkin yang dimaksudkan Yuliana, yang meninggal itu ibu dari pacarnya..Kalau itu, memang benar baru meninggal”

DHUENG?!!!

Begitu saya memasukkan motor saya –si Fahri-, saya kemudian mengambil jemuran saya itu satu per satu, kemudian membilasnya sekali lagi. Setelah itu saya jemur di tempat penjemuran yang ada atapnya.

Saya menunggu…15 menit,hujan tak juga reda. 30 menit, masih sama. Alhasil, saya urungkan niat saya untuk pulang malam ini. Saya sebenarnya tak begitu masalah harus pulang saat ini juga ataupun besok pagi. Tapi saya sudah terlanjur janji sama ayah saya untuk ke Jogja, menemani lihat-lihat laptop (harusnya janji ini minggu lalu, tapi ayah mendadak harus mengisi seminar, jadi ya rencananya mau ditebus besok pagi). Tapi ketika saya telepon, ayah saya mengatakan bahwa beliau tidak bisa memenuhi janjinya besok pagi, karena ada seminar lagi. Saya saat itu merasa sangat kecewa, sebenarnya (karena saya berjuang untuk pulang selarut apapun, demi memenuhi janji, tapi ternyata ayah membatalkan begitu saja, bahkan jika saya tidak telepon, mungkin saya juga tidak akan diberi tahu soal itu). Tapi kemudian saya tahu bahwa saya tak memiliki hak sedikitpun untuk marah.

He has done MORE than I’ve ever could imagine.

Ayah pernah dengan sukarela mengantarkan sebuah buku matematika yang ketinggalan di rumah ke kos –waktu SMA- hujan-hujan. Padahal sebenarnya buku itu sama sekali tidak digunakan, tapi toh saya akhirnya mengatakan bahwa buku itu sangat penting dan saya sangat senang beliau mengantarkannya. Ayah yang kebingungan setengah mati ketika saya harus di-opname di rumah sakit beberapa semester yang lalu. Ayah yang mendukung sebuah keputusan terbesar yang pernah saya ambil dalam hidup saya. Ayah yang mengatakan bahwa semua adalah salahnya, meskipun apa yang saya lakukan adalah murni karena keinginan saya. Ayah yang berhasil saya telepon setelah 2 hari tidak bisa bertemu saat gempa Joga dan sekitarnya menimpa, kemudian melarang saya untuk pulang karena merasa bahwa rumah sedang tidak aman, dan kemudian saya malah marah-marah sambil menangis karena beberapa hari ini sulit sekali menghubungi rumah, kemudian berkata bahwa saya akan ada di solo sampai gempa berhenti, tapi kemudian sore harinya saya nekat pulang dan kemudian langsung mendaftar jadi relawan Merapi, kemudian relawan gempa karena saya harus memenuhi nadzar saya (jika keluarga semua selamat, maka saya akan langsung ke Merapi bersama teman saya, Arie). Ayah yang selalu berpikir jauh ke depan –walau kadang terlalu jauh,hehehe-. Ayah yang selalu menanamkan bahwa perlu kerja keras untuk bisa berhasil, dan otak saja tidak cukup untuk itu. Ayah yang mengatakan bahwa kalau mau jadi pemimpin yang baik, saya harus bisa ‘momong’, ‘momor’,’momot’,dan ‘mumpuni’. Dan banyak hal lainnya yang membuat saya tak memiliki hak sedikitpun untuk merasa kesal. Oleh sebab itu, saya tidak jadi menuliskan kata ‘KESAL!!!’ sebagai judul postingan saya kali ini.

HIKS…

Tahukah kamu, sebenarnya saya ingin menuliskan kata berikut ini sebagai header postingan saya kali ini:


KESAL!!!


Tapi kemudian saya urungkan niat saya, karena tak ada gunanya marah-marah sendiri. Hm…dan akhirnya, yang saya bisa lakukan adalah menceritakan kronologi peristiwa kenapa tadi saya sempat berniat menuliskan kata tersebut.

Begini ceritanya,

Beberapa hari yang lalu, saya baru tahu kalau ternyata tempat kerja saya tidak libur saat Maulid Nabi dan Paskah. Meskipun kecewa, saya terima, toh itu konsekuensi yang harus saya terima atas pekerjaan saya. Kemudian, hari berikutnya, saya juga harus di kos sendiri karena teman-teman kos mudik, menghabiskan sisa liburan mereka di rumah masing-masing. Alhasil saya hanya ditemani beberapa buku yang saya baca habis dalam semalam, dan sms dari 2 orang sahabat saya.

Pagi harinya, saya bangun kesiangan. Berhubung sedang tidak sholat, dan tadi saya bangun jam 3 pagi sampai menjelang shubuh untuk baca buku, alhasil jam 5 pagi saya kembali terlelap di bawah buku yang saya baca. Niat untuk browsing hemat internet jadi luntur. Tapi saya tetap pergi ke warnet dekat kos saya karena benar-benar terpaksa harus cari bahan tugas. Dan sudah bisa ditebak, biaya yang saya keluarkan jauh lebih banyak. Saya hanya bisa berandai-andai saat itu, “coba tadi bisa browsing pas happy hours”.

Kemudian sepulangnya dari browsing, niat saya ingin cari brunch –breakfast and lunch, makannya dijamak,hehehe- di warung biasanya, karena saya pikir kalau saya menanak nasi takut nanti tidak habis karena niatnya sore mau mudik. Tapi sudah jauh-jauh ke warung yang saya maksudkan tadi, ternyata tutup. Ya sudah, saya cari warung yang buka. Agak sulit memang, karena hari ini hari libur. Tapi toh akhirnya dapat juga.

Lalu siang harinya, setelah packing siap-siap untuk mudik sore harinya, saya berangkat ke tempat kerja. Belum beberapa lama saya duduk, tiba-tiba awan hitam membayang kota Solo. Saya baru selesai membalas sms seorang teman dan mengatakan bahwa semoga sore ini tidak hujan meskipun mendung sudah jelas-jelas ada di atas saya, ketika hujan tiba-tiba “brus!” jatuh dengan sempurna! Saya masih agak tenang, karena saya berharap pada saat saya pulang nanti, hujan akan reda. Tapi ternyata harapan saya memang lebih suka disebut sebagai harapan. Dia tak mau berubah wujud menjadi kenyataan. Hujan masih tetap melompat-lompat dengan riangnya di atas karpet aspal kota Solo dan sekitarnya.

Sampai saat saya selesai kerja, keadaan tak begitu banyak berubah –kecuali hujan yang semakin deras-. Saya masih berharap ada keajaiban. Kemudian saya pulang ke kos dulu, niatnya mau mengambil barang-barang yang mau dibawa pulang ke rumah. Begitu saya membuka pintu kos, hati saya sedikit kesal, karena cucian saya masih menari-nari di tiang jemuran tersapu angin dan air hujan.

bersambung...

Akhir-akhir ini, saya jadi bisa merasakan, bagaimana kakak-kakak tingkat saya ketika mereka ditanya soal skripsi. Karena pada akhirnya, beberapa minggu terakhir, pertanyaan itulah yang selalu saya dengan ketika saya pulang ke rumah.

Ibu selalu bertanya, "Gimana skripsinya? Dah ngajuin judul belum?". Dan pertanyaan tersebut selalu ada setiap minggunya.

Saya sebenarnya sudah punya judul, hanya saja saya kurang yakin akan mengangkatnya menjadi bahan skripsi saya. Sekarang baru dalam tahap 'memantapkan hati', supaya tidak menyesal di tengah perjalanan saya menyusun skripsi. Mungkin yang namanya orang tua, inginnya ya anaknya cepat lulus dan cepat bekerja. Saya tentu juga berpikir sama, sudah besar, sudah saatnya cari uang sendiri.

Beberapa waktu lalu saya dan teman saya terlibat percakapan seputar masalah ini. Yang jelas, harus SEMANGAT! I can do this!



SEMANGAT!!!